17.2.11

Fiber Face 3


Fibre Face 3

Fibre Face 3 menampilkan seni serat kontemporer karya seniman Indonesia dan seniman asing. Fibre Face 3 merupakan perwujudan ketiga dari serangkaian pameran seni serat—persembahan Babaran Segaragunung di Yogyakarta—yang bertujuan untuk mengangkat figur seni serat kontemporer di Indonesia, sebuah negara yang memiliki reputasi internasional atas warisan budaya tekstilnya yang luar biasa.

Tema pameran Fiber Face 3 ini adalah 'Transformasi'. Karya-karya yang ditampilkan dalam rangkaian ini dipilih berdasarkan nilai estetis dan teknik serta relevansi mereka terhadap tema 'Transformasi'.

Fibre Face 3 dibagi menjadi empat bagian:

Transformasi bahan serat lewat teknik

Transformasi identitas pribadi, sosial, budaya dan politik

Transformasi lingkungan

Seni serat - menembus kategorisasi

Fibre Face 3 juga mempersembahkan 'sorotan' khusus yang menampilkan koleksi kain Batak kontemporer. Koleksi kain yang dianyam-tangan ini merupakan wujud penghormatan bagi para penenun Batak yang mempertahankan dan menjaga pengetahuan dan kahlian leluhur tradisi seni serat ini. Adalah suatu harapan bahwa 'sorotan' ini dapat mendorong dialog antara para penjaga tradisi seni serat leluhur ini dengan para seniman serat kontemporer berbasis urban.

Fibre Face 3

Fibre Face 3 features contemporary fibre art created by Indonesian and foreign artists. Fibre Face 3 is the third of a series of fibre art exhibitions, presented by Babaran Segaragunun in Yogyakarta, which aim to increase the profile of contemporary fibre art in Indonesia, a nation that has an international reputation for its outstanding textile heritage.


The exhibition’s theme is ‘Transformation’. The artworks selected for display in Fibre Face 3 were based on aesthetic and technical merit and their relevance to the theme ‘Transformation’.

Fibre Face 3 is divided into four sections:

Transformation of fibre materials through technique

Transforming personal, social and political identity

Environmental transformation

Fibre art – transcending categorisation

Fibre Face 3 also presents a ‘spotlight’ section featuring a collection of contemporary Batak textiles. This collection of handwoven cloths honours the Batak weavers who retain and maintain the ancient knowledge and skills of this fibre art tradition. It is hoped that this ‘spotlight’ encourages exchange between these custodians of fibre art with urban based, contemporary fibre artists.


TRANSFORMASI BAHAN SERAT LEWAT TEKNIK

Keragaman teknik pembuatan dan desain permukaan yang dewasa ini digunakan dalam praktik seni serat kontemporer tampak jelas dalam Fiber Face 3 ini.

Teknik meliputi sulam tangan dan mesin, aplikasi, aplikasi-balik, renda, tenun, penggandengan, tenun dengan hiasan tambahan pada benang pakan, maupun teknik-teknik pewarnaan celup-rintang seperti ikat and batik. Karya-karya seni ini juga merangkum berbagai jenis bahan; benang-pintal sutera, benang buangan limbah produk komersial, pita kaset daur ulang, dan utas kertas buatan tangan dari bahan bubur (pulp) katun, selain bahan konvensional berupa helai kain sutera dan katun.

Bahan seperti pita kaset daur ulang memang tidak sejalan dengan pengertian konvensional tentang serat. Namun proses penenunan dan/atau penganyaman bahan non-serat itu menempatkannya sebagai sejenis serat. Di sini teknik menjadi agen transformasi bahan.

Karya-karya batik dalam Fiber Face 3 mengilustrasikan keserbagunaan teknik ini dan betapa kecerdikan artistik menentukan perkembangan penerapannya. Cara-cara tradisional dalam menenun dan menyulam pun tampak jelas dalam Fiber Face 3. Karya seni tenun dan sulam tangan menegaskan bahwa kerumitan konstruksi merupakan ciri penting yang menandai tekstil dan seni serat, di mana bahan dan teknik bersama-sama ditransformasikan untuk menciptakan tekstur dan citra keseluruhan atau bidang pola.



TRANSFORMATION OF FIBRE MATERIALS TROUGH TECHNIQUE

The diversity of construction techniques and surface design currently used in contemporary fiber practice is evident in Fiber Face 3.

Techniques include hand and machine embroidery, appliqué, reverse appliqué, crochet, loom-weaving, twinning, supplementary weft weave as well as resist-dye techniques such as ikat and batik. The artworks incorporate an array of materials; painted silk yarns, discarded commercial off-cut threads, recycled cassette tape and hand-made cotton lint pulp paper lace, as well as conventional lengths of silk and cotton cloth.

Whilst material such as recycled cassette tape does not conform to conventional notions of fiber, the process of weaving this non-fibrous material recasts it as a type of fiber. Hence, technique becomes a transforming agent of material.

The batik works in Fiber Face 3 illustrate the versatility of the batik technique and how artistic ingenuity shapes its application.

Traditional methods of weaving and embroidery are also apparent in Fiber Face 3. Strip loom weaving and hand embroidered artworks assert that the intricacy of construction is a distinguishing feature of textiles and fiber art, where material and technique are together transformed to create texture and overall image or field of pattern.


TRANSFORMASI IDENTITAS PRIBADI, SOSIAL, BUDAYA DAN POLITIK

Seni serat yang dipersembahkan dalam klaster Fiber Face 3 ini mengeksplorasi dan menyampaikan makna identitas pribadi, sosial, budaya dan politik.

Identitas—dalam segala keragamannya—disingkapkan, dibentuk, ditegaskan dan diselidiki melalui wacana seni serat, mengusung suatu gagasan bahwa dalam dunia yang semakin berjalan menuju homogenisasi dan globalisasi, kita terus menerus ditempatkan berdasarkan identitas pribadi, budaya, sosial dan politik kita.

Renungan akan identitas pribadi diungkapkan melalui karya seni serat yang mengundang kita untuk masuk ke dalam ruang wilayah yang sangat intim. Eksplorasi yang menyentuh hati atas identitas budaya dan sejarah menggugah sisi-sisi unik kemanusiaan; kerentanan kita, ketidak-manusiawian kita antara satu dengan lain serta pada akhirnya: kesetaraan dan kesamaan kita.

Ikatan pengaruh antar budayawilayah jajahan dan yang terjajah, masa lampau dan masa kini—menjadi ranah eksplorasi nakal perencanaan tekstil dan permukaan di mana tekstil menjadi penanda perubahan dan perpindahan budaya melampaui batas waktu dan tempat.

Peran seni serat sebagai wacana alternatif oleh para seniman dalam menyelidiki pokok permasalahan sosial dan politik, keprihatinan dan identitas juga semakin meningkat. Walau sifat materi kain, serat dan tekstil secara tradisional bersifat feminin, kesanggupan seni serat untuk memberikan 'tendangan' dan untuk memasuki ranah politik juga dapat memberikan sebuah kejutan bagi kita.

Transforming personal, social, cultural and political identity

Personal, social, cultural and potitical identities are explored and conveyed through fiber artworks presented in this section of Fiber Face 3.

Identities, in all their diversity, are uncovered, forged, asserted and examined through the vehicle of fiber art, suggesting that in our increasingly homogenised and globalised world, we continue to be defined by our personal, cultural, social and political identities.

Fiber artworks that invite us into intensely intimate spaces reflect personal and individual identity. Poignant explorations of cultural identity and history evoke aspects of the human condition; our vulnerability, our inhumanity towards one another and ultimately our sameness.

The inter-play between cultures; colonies and the colonised, the past and the present is playfully explored through garment and surface design whereby garment becomes a marker of cultural transformation and transportation across time and place.

Fiber art is also increasingly is employed by artists as a subversive vehicle for investigating social and political issues, concerns and identity. Whilst the materiality of cloth, fiber and textile is classically of feminine association, the ability for fiber art to ‘pack a punch’ and enter arenas of political discourse can equally surprise us.


TRANSFORMASI LINGKUNGAN

Menjelang akhir abad lalu, tatkala krisis ekosistem bumi mendadak merebut perhatian dunia, seni serat mendapat momentum sebagai alternatif baru dalam media seni rupa. Sifat, tekstur, warna, proses, struktur alami dan permukaan yang riil, melampaui kefasihan bahasa dalam menyampaikan keberadaan seni serat dalam ruang fisik. Serat mengambil peran sebagai abjad-abjad primodial yang membahasakan kembali hubungan kita dengan alam.

Isu mengenai lingkungan hidup muncul dalam Fiber Face 3. Bahan dasar serat—organik ataupun sintetis—tampak berserak di mana-mana sebagai bagian dari lingkungan kita.

Dampak letusan Merapi terhadap kawasan seputar JawaTengah tergambar melalui pilihan bahan bersahaja kain karung dan temali goni. Penanganan warna kain shibori yang halus membenamkan kita ke alam dasar laut dan lantai bumi yang berlapis. Sebuah instalasi kain merah membawa kita ke relung-relung pre-natal—tempat yang paling damai di dunia yang kian tak menentu. Tekstur serat alami yang dapat diraba disorot melalui proses anyaman yang mengikuti pola berulang—sesuatu yang juga dapat ditemukan di alam. Perca kain yang terbuang diubah menjadi daun yang berserakan di tengah kota metropolis—mengingatkan kita bahwa lingkungan teknologi buatan manusia tidak terpisahkan dari sifat alamiah planet dan kehidupan kita.


SENI SERAT - MENEMBUS KATEGORISASI

Bagian Fiber Face 3 yang ini menggambarkan bagaimana seni serat dapat dimasukkan dalam berbagai pengelompokan konvensi 'seni'. Lepas dari apakah itu dalam bentuk seni konseptual, seni dekoratif atau seni kolaboratif, karaya seni serat yang dipamerkan ini memaparkan ragam yang kaya akan ekspresi, tema, gagasan dan bahan dasar. Melalui penggambaran keragaman gagasan dan proses yang digunakan dalam menciptakan seni kontemporer, karya-karaya seni ini melukiskan betapa seni serat melampaui batasan klasifikasi.

Beberapa karya yang ada di klaster ini mengingatkan kita pada istilah seni konseptual—di mana perencanaan dan keputusan dalam menentukan gagasan menjadi pilar utama karya. Teknik dan estetika selanjutnya menjadi perangkat yang digunakan untuk mendukung perencanaan dan gagasan yang dimaksudkan. Di sini kita bisa melihat bahwa seni serat juga mampu mengartikulasikan gagasan-gagasan yang kritis dan kontekstual.

Karya lain yang disajikan merupakan hasil kolaborasi antara seniman dari kultur yang berbeda. Karya-karya ini membalut teknik tradisional dengan sentuhan gagasan dan tema inovatif. Karya-karya kolaborasi ini berhasil menyerap dan mentransformasikan nilai-nilai tradisi yang kuno, teknik yang kreatif, dan pengetahuan lingkungan menjadi bentuk yang unik yang patut diapresiasi serta memiliki tempat di dunia seni.

Keragaman karya-karya yang ada menandakan bahwa seni serat merupakan sebuh ladang kaya atas praktik seni kontemporer yang mengakomodir berbagai bakat kreatif serat pendekatan-pendekatan konsep dan teknis.






























fasilitas pendukung berbagai event karya seni bisa mendukung kemajuan seni di indonesia, semoga indonesia kedepanya memiliki ruang pameran berstandar internasional.... karena kita negara yang terkenal kebudayaanya....

13.2.11

architecture for humanity

Perpustakaan dan Museum Soekarno

Arsitek : Baskoro Tedjo

Ketika Museum dapat Bicara

Didepanya kami menunduk….

Membisu tak perlu banyak bersua…..

Hanya ditugaskan menjadi pengiring…..

Kami bukan tujuan yang perlu engkau puja….

Kami hanya pengagum beliau…

Dan terakhir kalinya Kami tak kan bersua….

Anda mempersembahkan sebuah kualitas, segi arsitektural, tanpa tujuan. Hanya sebuah penghargaan dari sesuatu yang tidak bisa anda ungkapkan, yang harus dibangun….. dengan kualitas arsitektur yang jelas. Di awal arsitektur, saya tidak membuat sesuatu diluar dari buku pegangan, Saya tidak memulai dari isu praktis yang ada. Melainkan Saya memulai dari berbagai rasa yang harus menjadi “a world within a world”. Dunia dimana pemikiran seseorang bagaimanapun juga menjadi peka. (Louis I Kahn)

Sekilas ulasan dari Louis I Kahn yang memberikan gambaran tak jauh beda dengan pemikiran Baskoro Tedjo, yang saya tangkap dalam momen kali ini.

Silence of Architecture

Kunjungan arsitektur kali ini, membicarakan tentang kesunyian ruang baskoro tedjo, kali ini saya mengunjungi makam tokoh yang paling disegani di negeri ini, Soekarno. Baskoro Tedjo salah satu arsitek di negeri ini yang mementingkan kualitas ruang, adanya sebuah kejutan dalam setiap momen sesaat saya berdiri dalam satu sudut. Bentuk dasar yang dinamis, keteraturan komposisi, pengulangan ritme, dan bentuk linier yang seolah-olah menuntun kita untuk berjalan mengikutinya. Kemegahan bentuknya tak menjadikan terkesan sombong. Pemakaian meteial batu alam menjadikan lebih natural, terkadang kita tak yakin jika didalamnya adalah sebuah ruang.

Apa yang kau rasakan….?

You present a quality, architectural, no purpose. Just a recognition of something which you can’t define, but must be built………. But that’s a definite architectural quality.. it’s the beginning of architecture. It isn’t made out of a handbook. I doesn’t start from practical issues. It starts from a kind of feeling that there must be a world within a world. The world where man’s mind somehow becomes sharp. (Louis I Kahn).

That Little commentary from Louis I Kahn who gives similar hypothesis with Baskoro Tedjo’s thinking is my opinion in this section.

The Silence of Architecture

this time I Visited architecture which talking about the Baskoro Tedjo’s space silence. I visited the tomb of the most respected figures ,Sukarno, in indonesian,. Baskoro Tedjo is one of the architects in this country concernig with the quality of space. When I stood in one corner where the existence of a surprise in every moment. the Form basis of a dynamic, composition regularity, repetition rhythm, and a linear form that seems to lead us to walk to follow. grandeur Misshapen make unarrogant. Use of natural stone meteial makes more natural. Sometimes we do not believe if in the building is a space.
What do you feel ....?